Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2024/PN Lbp AHMAD HUSAINI Kapolda Sumatera Utara Cq Kapolrestabes Medan Cq. Kapolsek Patumbak Cq. Kanit Rekrim Polsek Patumbak Persidangan
Tanggal Pendaftaran Jumat, 01 Mar. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2024/PN Lbp
Tanggal Surat Jumat, 01 Mar. 2024
Nomor Surat 2/Pid.Pra/2024/PN Lbp
Pemohon
NoNama
1AHMAD HUSAINI
Termohon
NoNama
1Kapolda Sumatera Utara Cq Kapolrestabes Medan Cq. Kapolsek Patumbak Cq. Kanit Rekrim Polsek Patumbak
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Perkenankan kami yang bertanda tangan dibawah ini:
 
1. ADV.EFERMIN GULO. S.H.
2. ADV.BAGINTA MANIHURUK,SH.,MH.
 
ADVOKATE-LEGAL CONSULTAN-CORPORATE LAW YANG BERKANTOR PADA 
 
L A W O F F I C E
EFERMIN GULO & ASSOCIATES
Advocate/Legal Consultan/Corporate Law
 
Berkedudukan di Jl. Nibung II No 16 Lantai III Medan Petisah, Kota Medan. Telp/Wa. 0853 – 6201 - 2666 Email. eferminlawyergulo@gmail.com, dapat bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 23 Februari 2021 (Terlampir). Bertindak untuk dan atas nama:
 
AHMAD HUSAINI laki-laki, Tempat Tanggal Lahir Gebang, 12 Juni 1985, Umur 38 Tahun, Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, Alamat Jl.Rawe I Link XII, Kel/Desa Besar, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Nik. 1271131206850003,Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya disebut sebagai------------------------------PEMOHON;
 
PEMOHON DENGAN INI MENGAJUKAN PERMOHONAN PRA PERADILAN, TERHADAP:
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Cq Kepala Kepolisan Resor Kota Besar Medan Cq. Kepala kepolisian Sektor Patumbak, Cq. Kanit Rekrim Kepolisan Sektor Patumbak, yang berkedudukan di Jalan pertahanan desa patumbak-II Kecamatan Patumbak. Selanjutnya disebut sebagai----------------------------------------------------------------------------------------------TERMOHON-I;
 
untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan dan atau Pengelapan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 374 KUH Pidana subs 372 KUHPidana 
 
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRA PERADILAN.
1. Bahwa menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah Negara hukum” dan menurut Pasal 28D UUD 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal UUD ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat;
 
2. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011, halaman 30 menyatakan, “filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia”. Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak Tersangka, dari kesewenang-wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak dilakukan penyelidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka; 
 
3. Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh Pemohon berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikaan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam melaksanakan kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum termasuk dalam penetapan Tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
 
4. Bahwa pengujian keabsahan proses penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka melalui lembaga Praperadilan, patut dilakukan karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka maka sejak itu pula segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seorang Tersangka dan harta kekayaan tersangka, dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Oleh karena penetapan Tersangka merupakan bagian akhir dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses Penyidikan sebagaimana dimaksud oleh pasal 1 angka 2 KUHAP, maka penetapan tersangka tersebut perlu diuji kebenaran atau keabsahannya. Secara hukum lembaga berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah pengadilan melalui Pra peradilan. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan penetapan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari tindakan Penyelidik, Penyidik yang akan diikuti upaya paksa. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya penetapan Tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga Negara;
 
5. Bahwa dalam praktik hukum Lembaga Praperadilan harus diartikan sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar hak asasi manusia tidak dilanggar oleh aparat penegak hukum atas nama penegakan hukum, sebagaimana secara tegas dituangkan dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP yang menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi :
 
1. “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala hak warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 
 
2. “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”
 
Penegasan terhadap hal ini juga dilakukan dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi:
 
“Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
 
6. Bahwa dalam praktik hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 secara tegas menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek pra peradilan. Dengan demikian maka Permohonan pemohon untuk menguji keabsahan penetapan Pemohon sebagai Tersangka melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi:
 
“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”; (Putusan MK hal 105-106);
 
7. Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, maka pada hakekatnya hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah secara tegas mengatur adanya lembaga koreksi atas penetapan seseorang sebagai Tersangka. Dengan kata lain, menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, adalah merupakan hak asasi seorang untuk menguji sah atau tidak sahnya ketika ditetapkan sebagai Tersangka. Apalagi jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik in casu Termohon dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, dalam hal ini adalah Pemohon, maka adalah merupakan hak seorang warga negara untuk melakukan koreksi atas penetapannya sebagai tersangka In Casu Pemohon. Kegiatan melakukan koreksi terhadap kesalahan penyidik atau penetapaan tersangka tersebut dilakukan melalui lembaga Praperadilan. Koreksi ini dilakukan untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/kesewenangan yang mungkin secara sengaja atau karena lalai dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini Penyidik atau Komisioner pada Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan penegak hukum yang melanggar hak asasi manusia hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang menyatakan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”;
 
8. Bahwa sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan objek Praperadilan termasuk penetapan Tersangka. Sebagai contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap /PN.Bky., tanggal 18 Mei 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Sedangkan yang terkait dengan sah tidaknya penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Putusan Praperadilan No. 38/Pid.Prap /2012/ PN.Jkt-Sel., tanggal 27 November 2012 telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain ”tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka”. Bahkan yang paling baru adalah Putusan Praperadilan dalam perkara No. 04/ Pid/Prap/2014/ PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, secara tegas antara lain, “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah”; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon” dan Putusan Praperadilan dalam perkara No. 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015, secara tegas antara lain, “Menyatakan tidak sahnya penetapan seorang menjadi Tersangka;
 
9. Bahwa sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah ada putusan praperadilan yang menerima permohonan tidak sahnya penetapan seseorang menjadi tersangka, yaitu Putusan Praperadilan Nomor: 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 26 Mei 2015. Dalam pertimbangannya, Hakim praperadilan mempertimbangkan sebagai berikut:
“ Menimbang, bahwa memperhatikan surat bukti P 11 yaitu salinan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta lampirannya tentang pemberhentian dengan hormat dari Dinas POLRI diketahui ada 11 orang anggota Polri di KPK yang mengajukan pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri dari dinas POLRI yang mana permohonan berhenti tersebut disetujui Kapolri dengan surat Keputusan tertanggal 25 November 2014 dan terhitung sejak tanggal 30 November 2014 diberhentikan dengan hormat dari Dinas Polri sehingga dengan demikian sejak tanggal tersebut yang bersangkutan demi hukum juga berhenti sebagai Penyelidik dan Penyidik. Hal ini adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Jo Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tersebut diatas, sehingga dengan demikian segala tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh anggota Polri yang telah pensiun atau berhenti dengan hormat tersebut setelah tanggal 30 November 2014 tersebut adalah batal demi hukum” (Putusan halaman 257-258)
 
10. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/ PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah ditentukan adanya norma baru yang mengikat seluruh warga negara Republik Indonesia yaitu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Tersangka, selain adanya bukti permulaan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap calon tersangkanya, “...harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya..” (Putusan MK Nomor 21/ PUU-XII/2014, hal 98);
 
11. Bahwa berdasarkan argumentasi yuridis tersebut di atas, maka adalah merupakan kewenangan dari praperadilan untuk menilai sah atau tidak sahnya penetapan Tersangka. Oleh karena itu Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon beralasan dan menurut hukum.
 
II. ALASAN PERMOHONAN  PRAPERADILAN.
 
A. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA 
 
1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek pra peradilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
 
2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup". Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti;
 
3. "Frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan 'bukti yang cukup' dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),"
 
4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
 
5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka maupun Penetapan Tersangka. Akan tetapi Langsung dilakukan Penangkapan  Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP. Kap/66 /II/2024 tertanggal 22 Februari 2024 kemudian langsung dilakukan Penahanan dengan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han /38/II/2024/Rekrim tertanggal 23 Februari 2023 yang keduannya ditandatangani Kapolsek Patumbak Polrestabes Medan tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung Ditangkap dan Ditahan tanpa ada dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon;
 
6. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan 'bukti yang cukup' dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepala kepolisian Resort Patumbak cq Kanit Rekrim Kepolisian Resort Patumbak;
 
7. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
 
B. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA
 
1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014.MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan” ,“bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14,Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
 
2. Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” ,dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti;
 
3. Frasa “bukti permulaan”, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (inabsentia);
 
4. Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hakasasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
 
5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai Saksi ataupun tersangka. Hal ini dapat dilihat dari surat yang pertama diterima Pemohon dari Termohon-I yaitu Surat Perintah Penangkapan Nomor Sp.Kap/66/II/2024/ Reskrim, tertanggal 22 Februari 2024, dimana Pemohon langsung ditetapkan sebagai Tersangka dengan upaya paksa dalam penangkapan dikedei jualan gorengan oleh Termohon-I, terbukti terlihat pada Dasar Surat Perintah Penangkapan hanya ada 4 poin Dasar saja langsung dilakukan Penangkapan tanpa ada surat Panggilan kepada Pemohon ataupun panggilan kepada Saksi-saksi yang meringankan Pemohon;
 
6. Bahwa Pemohon sebelum ditetapkan sebagai Tersangka ataupun sebelum dilakukan Penangkapan oleh Termohon pada tanggal 22 Februari 2024, Pemohon tidak pernah dipanggil secara patut dan sah, baik sebagai  Saksi maupun sebagai Tersangka;
 
7. Bahwa proses penangkapan yang dilakukan oleh Termohon, dilakukan sangat arogan layaknya melakukan penangkapan terhadap penjahat besar, hal ini dapat dilihat ketika istri Pemohon meminta supaya diberi kesempatan untuk berbicara namun hal itu terhomon membentak dengan nada kasar dikantor saja kau jelaskan;
 
8. Bahwa termohon  telah menunjukkan dan telah melakukan sikap arogansi dan kesewenang-wenangan dalam melakukan penangkapan terhadap Pemohon;
 
9. Seharusnya Termohon terlebih dahulu melakukan pemanggilan secara patut dan sah terhadap Pemohon sebanyak 2 (dua) kali sebelum melakukan upaya jemput paksa sampai terbukti cukup Bukti untuk penetapan Tersangka lalu  dilakukan Penangkapan, akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh Termohon ini menunjukkan bahwa prosedur penetapan Tersangka terhadap Pemohon dan Prosedur penangkapan Pemohon yang dilakukan oleh Termohon-I telah bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku;
 
10. Bahwa menurut pasal 114 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, “ Dalam hal seorang disangka melakukan sesuatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh Penyidik, Penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 “. Sementara  Pemohon langsung di boyong dari kedei tempat jualan gorengan  untuk dibawa kepolsek patumba dan dibuat berita acara Penangkapan Tersangka  tanpa di dampingi oleh Penasehat hukumnya;
 
11. Bahwa untuk itu berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan‘ bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14,Pasal17,dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 183 Jo Pasal184 KUHAP disertai pemeriksaan para Saksi-saksi kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Sementara hal itu Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon;
 
12. Bahwa berdasarkan pasal 112 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dengan bunyi: “ Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil Tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar, antara yang diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut, dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa ada surat pemangilan para saksi-saksi ataupun Tersangka hal ini merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo;
 
C. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
 
1. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon - I, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon dari Surat Perintah Penangkapan tertanggal 22 Februari 2024 dengan Nomor: Sp.Kap/66/II/2024/ Reskrim, sampai Pemohon dengan tiba-tiba telah menjadi Tersangka;
 
2. Bahwa tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Pada hal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan kemudian naik ketingkat  penyidikan;
 
3. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP,“ penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyelidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi“ penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;
 
4. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
 
5. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon;
 
6. Bahwa untuk memperkuat uraian di atas Termohon seharusnya dalam Menetapkan Pemohon sebagai Tersangka memperhatikan Peraturan Kepala Kepolisian NegaraRepublik Indonesia Nomor 06 Tahun 2019 tentang  PenyidikanTindak Pidana. Pasal 10 yang menyatakan Kegiatan Penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:
 
 Penyelidikan;
 Dimulainya Penyidikan
 Upaya Paksa;
 Pemeriksaan;
 Penetapan Tersangka;
 Pemberkasan;
 Penyerahan berkas perkara kepenuntut umum;
 Penyerahan tersangka dan barang bukti;
 Penghentian penyidikan;
 
7. Bahwa dalam Pasal 25ayat (1), dan ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik IndonesiaNomor 06 Tahun 2019 tentang  Penyidikan Tindak Pidana  juga menyatakan: Ayat (1) :“Penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti” ;
 
Ayat (2) :“Penetapan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan”
a. Bahwa tujuan dari Perkap No. 06/2019 tersebut salah satunya adalah sebagai pedoman dalam penyelengaraan penyidikan tindak pidana dilingkungan POLRI, sehingga Penyidik haruslah menjadikan Perkap No.06/2019 tersebut sebagai pedoman dalam melakukan penyidikan;
 
b. Bahwa dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat di atas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum untuk itu harus dibatalkan ;
 
c. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon yang tertuang dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/66/ II/2024 tertanggal 22 Februari 2024 dimana Surat Penangkapan yang dikeluarkan Termohon tersebut hanya didasarkan pada: 
 
1. Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1, pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11 , Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 111 ayat (1) KUHAP;
 
2. Pasal 16 ayat (1) Undang Undang No.2 Tahun 2002;
 
3. Laporan Polisi Nomor : LP/B/772/IX/2023/PSKT Polsek Patumbak/ Polrestabes Medan/Polda Sumatera Utara, tanggal 14 November 2023;
 
4. Surat Perintah Penyidikan  Nomor Nomor SP.Sidik/392/XI/2023/ Reskrim tanggal 20 November 2023
d. Bahwa kemudian langsung dilakukan Penahanan terhadap Pemohon oleh Termohon dengan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han /38/II/2024/Rekrim tertanggal 23 Februari 2023 dimana Surat Pengkapan tersebut hanya didasarkan : 
- Pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 11, Pasal 20 , Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24 ayat (1) KUHAP;
 
- Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
 
- Laporan Polisi  Nomor : LP/B/772/IX/2023/PSKT Polsek Patumbak / Polrestabes Medan/Polda Sumatera Utara, tanggal 14 November 2023;
 
- Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kep/66/II/2024/Reskrim , tanggal 22 Februari 2024;
 
e. Bahwa yang keduannya baik Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Pahanan ditandatangani Kapolsek Patumbak Polrestabes Medan (ic Termohon) dimana dalam surat tersebut tidak ada menyebutkan Surat Penetapan Tersangka dan Surat Panggilan Tersangka  terhadap Pemohon sebagai dasar Penangkapan dan Penahanan atas dugaan melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 374 Subs pasal 372 dari KUHPidana dalam dasar Penangkapan maupun Penahanan;
 
f. Bahwa apa bila mengacu kepada surat panangkapan  dan penahanan  tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah Penangkapan maupun Surat Perintah Penahanan akan tetapi langsung kepada Surat Perintah Penyidikan  Nomor Nomor SP.Sidik /392/XI/2023/Reskrim tanggal 20 November 2023. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan;
 
g. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, "penyelidikan" merupakan tindakan tahap pertama permulaan "penyidikan". Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi "penyidikan". Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;
 
h. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan "bukti permulaan" atau "bukti yang cukup" agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindak pengusutan" sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
 
i. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon;
 
j. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon  tanpa ada penyelidikan terlebih dahulu atau sering disebut panggilan klarifikasi bagi Pemohon atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
 
D. TERMOHON TIDAK MELAKUKAN GELAR PERKARA MENENTUKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA 
 
a. Bahwa gelar Perkara tidak melibatkan Pemohon dan Termohon tidak mengadakan gelar perkara sebagaimana tercantum dalam Dasar Penangkapan maupupun Penahanan Pemohon ;
 
b. Bahwa gelar perkara menurut Frans Hendra Winarta, dalam artikel Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan, memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum;
 
c. Menurut Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) gelar perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari penyidikan. Adapun tahap kegiatan penyidikan dilaksanakan meliputi:
a. penyelidikan;
b. pengiriman SPDP;
c. upaya paksa;
d. pemeriksaan;
e. gelar perkara;
f. penyelesaian berkas perkara;
g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. penghentian Penyidikan.
 
d. Bahwa Gelar perkara biasa dilaksanakan dengan tahap:
a. awal proses penyidikan; 
b. pertengahan proses penyidikan; dan
c. akhir proses penyidikan
 
e. Bahwa dikarenakan prosudur gelar perkara tidak dilakukan Termohon maka penetapan pemohon sebagai Tersangka adalah Cacat Hukum oleh karenannya Batal demi Hukum
 
E. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA PENGGELAPAN DALAM JABATAN  SEBAGAI JABATAN SUPIR (DRIVER) DARI  PT.MITRA FINEX ANTAR NUSA (Speciality Chemicals-Industrial) KARENA MELAKSANAKAN PERINTAH KERJA DARI PT.MITRA FINEX ANTAR NUSA
 
a. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak pidana dalam Jabatan dan atau Pengelapan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 374 KUH Pidana subs 372 KUHPidana tidak berdasar pada bukti-bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian menurut hukum. Bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh Pemohon selaku karyawan PT MITRA FINEX ANTAR NUSA berdasarkan perintah kerja dan mitra kerja karyawan PT MITRA FINEX ANTAR NUSA dan kebiasaan kerja yang ada di karyawan PT MITRA FINEX ANTAR NUSA adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar Pemohon melakukan kegiatan pengantaran barang dan penjemputan barang;
 
b. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon selaku karyawan melakukan kegiatan atas perintah kerja yang sah dari PT MITRA FINEX ANTAR NUSA dimana pemohon sebagai pekerja sedangkan PT MITRA FINEX ANTAR NUSA sebagai seorang yang memperkerjakan pemohon tidak pernah dilakukan penyelidikan dan atau klarifikasi terlebih dahulu oleh Termohon kepada pemberi kerja;
 
c. Bahwa tempat kejadian yang diduga terjadi penggelapan berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/B/772/IX/2023/PSKT Polsek Patumbak/Polrestabes Medan/ Polda Sumatera Utara, tanggal 14 November 2023 adalah di Jl. Pertahanan tepatnya di PT. Universal Gloves Desa Patumbak Kampung, Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang, sekira pukul 14 : 00 Wib
 
d. Bahwa dari laporan diatas sangat jelas tempat kejadiannya bukan di PT. Mitra Finex Antar Nusa malainkan ditempat yang berbeda dan juga dihari jam tutup kantor maka sangat diragukan kebenarannya;
 
e. Bahwa dari serangkaian fakta hukum di atas PT. Mitra Finex telah nyata-nyata menciderai hukum dan melakukan kekeliruan hukum yang membuat pemohon jadi tersangka dan ditahan di Polsek Patumbak berdasarkan laporan Polisi Nomor : LP/B/772/IX/2023/PSKT Polsek Patumbak/Polrestabes Medan/ Polda Sumatera Utara, tanggal 14 November 2023;
 
f. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP; 
 
g. Bahwa untuk memperkuat uraian di atas Termohon seharusnya dalam Menetapkan Pemohon sebagai Tersangka memperhatikan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2019 tentang  PenyidikanTindak Pidana. Pasal 10 yang menyatakan Kegiatan Penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:
 
1. Penyelidikan;
2. Dimulainya Penyidikan
3. Upaya Paksa;
4. Pemeriksaan;
5. Penetapan Tersangka;
6. Pemberkasan;
7. Penyerahan berkas perkara kepenuntut umum;
8. Penyerahan tersangka dan barang bukti;
9. Penghentian penyidikan;
 
h. Bahwa dalam Pasal 25 ayat (1), dan ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik IndonesiaNomor 06 Tahun 2019 tentang  Penyidikan Tindak Pidana  juga menyatakan: Ayat (1) :“Penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti” ;
 
Ayat (2) :“Penetapan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan”
i. Bahwa tujuan dari Perkap No. 06/2019 tersebut salah satunya adalah sebagai pedoman dalam penyelengaraan penyidikan tindak pidana dilingkungan POLRI, sehingga Penyidik haruslah menjadikan Perkap No.06/2019 tersebut sebagai pedoman dalam melakukan penyidikan;
 
j. Bahwa dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat di atas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan;
 
k. Bahwa berdasar pada argumen-argumen sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana di Penggelapan dalam Jabatan di PT MITRA FINEX ANTAR NUSA;
 
l. Bahwa mengingat tindak pidana yang dituduhkan bersifat khusus yang berkaitan dengan Undang Undang Ketenaga kerjaan, maka sebelum menetapkan Pemohon sebagai Tersangka haruslah terlebih dahulu diperiksa Keterangan Ahli dibidang hukum keternaga kerjaan untuk memperjelas apakah benar telah terjadi penggelapan yang dillakukan oleh Pemohon sebagai karyawan/pekerja dari PT MITRA FINEX ANTAR NUSA ataukah perintah jabatan yang sah dari PT MITRA FINEX ANTAR NUSA dimana dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
 
m. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, maka tindakan Termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti untuk menetapkan status seseorang menjadi tersangka khususnya terkait Pidana Penggerlapan dalam Jabatan sebagai karyawan PT MITRA FINEX ANTAR NUSA maka penetapan tersangka harus dinyatakan tidak sah 
 
F. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM.
 
a. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita. Bukan hanya kita, Negara pun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang  kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka Negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
 
b. Bahwa dari uraian peristiwa tersebut diatas diduga  telah melakukan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang - wenang yang melanggar  asas-asas ketentuan pokok hukum internasional, sebagaimana pasal 9 huruf (e) undang-undang  nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan  Hak Azasi manusia;
 
c. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
 
d. Bahwa Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘   merupakan karakteristik yang essentieel, baiki dikemukakan oleh‘ Rule of Law’ –konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas‘ nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuan yaitu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
 
e. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Bahwa yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi Negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan diluar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan(asasspesialitas);
 
f. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi:
 
 Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
 Dibuat sesuai prosedur;dan
 Substansi yang sesuai dengan objek Keputusan;
 
g. Bahwa sebagai mana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 
h. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan aquose bagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
 
 “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”;
 
 “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan”;
 
i. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang memeriksa dan mengadili perkara aquo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap diri Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum;
 
G. PENANGKAPAN TIDAK SAH 
 
a. Bahwa Pemohon dilakukan penangkapan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kep/66/II/2024/Reskrim , tanggal 22 Februari 2024;
 
b. Bahwa penangkapan dilakukan maksimal 2 x 24 jam (vide Pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013), karena itu harus disebutkan jam dilakukan penangkapan;
 
c. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penangkapan yang dilakukan oleh Termohon melanggar prosedur dalam KUHAP, sehingga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
H. TERMOHON - I TIDAK ADA MENYERAHKAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) KEPADA PEMOHON.
 
a. Bahwa setelah suatu peristiwa diduga sebagai suatu tindak pidana, proses selanjutnya adalah memasuki tahap penyidikan. Pada tahap ini penyidik mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, proses ini berguna menemukan tersangka tindak pidana tersebut;
 
b. Bahwa tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan Termohonkepada Pemohon dapat dilihat dari TIDAK diberikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Pemohon ;
 
c. Bahwa seharusnya Termohon-I wajib memerikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Pemohon. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkama Konstitusi RI nomor perkara 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017;
 
d. Bahwa kemudia Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan uji materiil ketentuan Pasal 109 ayat (1) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, Mahkamah pun menyatakan:
“pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor (ic.Pemohon) dan korban/pelapor“;
e. Bahwa hal ini sejalan dan sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Perkap Kapolri menyatakan : “(1) SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor (ic. Pemohon) dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan” ;
f. Bahwa oleh karena Termohon – I tidak ada menyerahkan atau memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap perkara aquo kepada Pemohon, maka hal ini membuktikan adanya pelanggaran prosedur dalam penyelidikan dan/atau penyidikan dalam perkara aquo, sehingga mengakibatkan semua proses penyidikan dalam perkara aquo menjadi TIDAK SAH secara hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi Pemohon;
 
I. UPAYA PAKSA PENANGKAPAN YANG DILAKUKAN TERMOHON TELAH MELANGGAR PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IMPLEMENTASI PRINSIP DAN STANDAR HAK ASASI MANUSIA DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (PERKAP NO. 8/2009).
 
1. Bahwa pada saat Termohon melakukan penangkapan ke kedei gorengan Pemohon, Termohon telah dengan sadar melanggar protap tentang penangkapan dimana saat itu Termohon - I melakukan upaya paksa penangkapan dengan memaksa dan membawa pemohon kedalam mobil untuk dibawa kepolsek patumbak;
 
2. Bahwa saat itu Pemohon hanya minta waktu kepada Termohon agar menunggu sebentar sampai Pemohon dapat berkordinasi dan berkomunikasi via telepon seluler dengan Penasehat nya, akan tetapi Termohon- I dengan sangat arogan melakukan upaya paksa membawa pemohon;
 
3. Bahwa penangkapan yang dilakukan Termohon terkesan sangat dipaksakan dan telah melanggar Pasal 10 Perkap No.8/2009, yang menyatakan :
 
“Pasal 10 : Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) sebagaimana dimkasud dalam Pasal 7 huruf h sebagai berikut:
 
a. senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka;
 
b. menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya;
 
c. tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan;
 
d. hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan;
 
e. tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan;
 
f. menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan;
 
g. tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan profesi penegak hukum;
 
h. harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik yang ada;
 
J. PEMOHON TIDAK ADA DIDAMPINGI OLEH PENASEHAT HUKUM SAAT DIPERIKSA SEBAGAI TERSANGKA.
 
a. Bahwa pada tanggal 22 Februari 2024 Termohon, melakukan Penangkapan terhadap Pemohon dikedei gorengan Pemohon. Kemudian Pemohon langsung dibawa ke kantor Kepolisian sektor patumbak untuk diminta keterangannya sebagai Tersangka atas tuduhan melanggar Pasal 374 Subs 372 KUHPidana;
 
b. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari Penasehat Hukum dalam tiap pemeriksaan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 54 KUHAP yang berbunyi:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”;
 
c. Bahwa lebih lanjut ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2), menyatakan:
 
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;
 
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-Cuma;
 
d. Bahwa faktanya Pemohon saat diperiksa dan dimintai keterangan (BAP) sebagai Tersangka oleh Termohon-I dikantor Kepolisian sektor patumbak, Pemohon TIDAK ada didampingi oleh Penasehat Hukumnya dan Termohon- I juga TIDAK ada menunjuk atau menyediakan Penasehat Hukum bagi Pemohon. Hal ini membuktikan Termohon-I telah menyalahi prosedur dalam proses penyidikan dalam perkara aquo;
 
III. PETITUM
 
Berdasar pada fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang memeriksa dan mengadili perkara aquo berkenan memutus perkara ini,dengan amar sebagai berikut :
 
1. Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
 
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp.Sidik/392/XI/ 2024/Reskrim, tanggal 20 November2023, yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait dugaan peristiwa Pidana 374 Subs 372 KUHPidana adalah TIDAK SAH secara hukum;
 
3. Menyatakan perbuatan atau tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalahTIDAK SAH secara hukum;
 
4. Menyatakan bahwa penangkapan terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/66/II/2024/Reskrim, tanggal 22 Februari 2024 adalah TIDAK SAH secara hukum;
 
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh  Termohon  yang adalah TIDAK SAH secara hukum;
 
6. Memerintahkah kepada Termohon untuk untuk mengeluarkan Termohon dari Tahanan dari tempat Pemohon ditahan seketika dan sekaligus tanpa syarat sejak Pemohonan Prapradilan ini dikabulkan dengan mengembalikan Pemohon kerumah dan atau tempat tinggal  Pemohon ;
 
7. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan Penyidikan dan atau Penuntutan Terhadap Pemohon yang didasarkan pada Laporan Polisi: LP/B/772/XI/2023/SPKT/POLSEK PATUMBAK/POLRESTABES MEDAN/POLDA SUMUT, tanggal 14 November 2023;
 
8. Menyatakan dan memerintahkan Termohon untuk memulihkan Hak Pemohon dalam segala kedudukan, kemampuan harkat martabat dan kemampuannya secara hukum;
 
9. Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah cacat yuridis dan atau bertentangan dengan hukum dan mengakibatkan kerugian secara materiil yang jika dihitung sebesar Rp.1.000 (seribu rupiah);
 
10. Menghukum Termohonoleh karena itu untuk membayar kerugian immaterial Pemohon sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), secara langsung dan serta merta dalam satu waktu seketika kepada Pemohon;
 
11. Menghukum Termohon dan Termohon untuk tunduk dan patuh terhadap putusan aquo;
 
12. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku;
 
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan;
 
Atau apa bila Yang Mulia Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya(exaequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya