Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
20/Pid.Pra/2023/PN Lbp ROY M. ALEXANDER SIRAIT Kepolisian Negara RI Cq Kapoldasu Cq Kepolisian Resort Kota Deli Serdang Cq. Satuan Reserse Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 12 Des. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 20/Pid.Pra/2023/PN Lbp
Tanggal Surat Selasa, 12 Des. 2023
Nomor Surat 20/Pid.Pra/2023/PN Lbp
Pemohon
NoNama
1ROY M. ALEXANDER SIRAIT
Termohon
NoNama
1Kepolisian Negara RI Cq Kapoldasu Cq Kepolisian Resort Kota Deli Serdang Cq. Satuan Reserse
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada Yth
Ketua Pengadilan Negeri Lubuk Pakam
Jl. Sudirman No. 58, Petapahan,
Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara - 20517.


Perihal: Permohonan Praperadilan


Dengan hormat,

Perkenankan kami Para Advokat dari Kantor Advokat ANDI TARIGAN & REKAN berlamat di Jalan Tumpatan-Beringin, Kompleks Geraha Bakaran Batu Indah No. 67, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, yang dalam hal ini diwakili oleh:

•    ANDI TARIGAN, S.H.
•    HARIANTO GINTING, A.Md., S.H., CPM.
•    DIAN PRAWIRO NAPITUPULU, S.H., M.H.
•    MUHAMMAD SUHAJI, S.H.
•    FITRIADI GUNAWAN, S.H.

Bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus Tanggal 08 Desember 2023 untuk kepentingan hukum Klien:

Nama    :    ROY M. ALEXANDER SIRAIT.
Tempat/Tanggal Lahir    :    Siantar, 01 September 1993.
Pekerjaan     :    Pegawai Negri Sipil (PNS).
Agama     :    Kristen.
Alamat     :    Jln. Darussalam No.14 Silindung, Desa Pondok Sayur, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara.

Yang selanjutnya dan seterusnya disebut sebagai--------------------------------PEMOHON


Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap:

KEPOLISAN NEGARA REPULIK INDONESIA Cq. KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA Cq. KEPOLISIAN RESORT KOTA DELI SERDANG Cq. SATUAN RESERSE DAN KRIMINAL yang berkedudukan di Jalan Sudirman No. 18,
Petapahan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. yang selanjutnya dan seterusnya  disebut sebagai--------------------------------------------------------------TERMOHON

Adapun alasaa diajukannya Permohoanan Praperaadilan ini adalah sebagai berikut:

A.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    Bahwa Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan “Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam negara hukum asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberi posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khusus bagi Tersangka, Terdakwa maupun Terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang, oleh karena Negara terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan terhadap HAM (vide Pasal 281 Ayat (4) UUD 1945). KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak Tersangka/Terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran HAM.
2.    Bahwa keberadaan lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP pada hakekatnya dimaksudkan sebagai sarana control atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (i.c. Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum). Koreksi atau pengujian keabsahaan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termaksud dalam hal ini PEMOHON. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa lembaga praperadilan yang terdapat dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat di negara Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang pada hakekatnya memberi pengertian bahwa di dalam masyarakat yang berbudaya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk selalu menjamin hak kemerdekaan setiap orang.
3.    Bahwa lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh Penyidik atau Penuntut Umum, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum di dalam melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana secara khusus Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor : 21/PUU-XII/2014, tertanggal 28 April 2015 telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan.
4.    Bahwa pengujian keabsahan penyelidikan, penyidikan dan Penetapan Tersangka melalui lembaga praperadilan, karena penetapan sebagai tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah praperadilan. Tanpa ditetapkan status atau label tersangka, maka pada dasarnya tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, oleh karena itu, dalam menguji keabsahan status tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari kegiatan penyidik yang akan diikuti upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik atau Penuntut Umum terhadap seorang tersangka atau Terdakwa. Seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan tanpa keadaan bahwa seseorang itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga Negara.
5.    Bahwa tujuan praperadilan dalam menguji keabsahan penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka, pada hakekatnya adalah untuk menjunjung hak asasi manusia dan menjamin hak-hak warga negara yang dapat diabaikan dan dianggap tidak ada dengan adanya kedudukan sebagai Tersangka, terlebih lagi penetapan sebagai Tersangka tersebut dilakukan tidak menurut hukum. Adanya label Tersangka, mengakibatkan aparat penegak hukum dapat merampas hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD Negara ;
6.    Bahwa tujuan praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal yang dilakukan oleh Hakim. Ini berarti bahwa esensi praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka dan mengawasi upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau Penuntut Umum terhadap tersangka. Pengawasan ini penting untuk mengetahui semua tindakan penyidik atau Penuntut Umum benar- benar dilaksanakan sesuai ketentuan UU, dilakukan secara professional, bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya.
7.    Bahwa dari uraian yang dikemukakan di atas, maka lembaga praperadilan dapat dimaknai sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana secara tegas dituangkan dalam konsideran menimbang huruf a dan c KUHAP yang menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP dan berbunyi:
a.    Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.
b.    Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kea rah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6, yang berbunyi :
“……pembangunan yang sedemikian itu dibidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta dapat ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing- masing kea rah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan UU Dasar 1945” ;
8.    Bahwa dengan dasar pemikiran di atas, permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atau ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP) juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :
(1)    Tersangka,Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2)    Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ;
Ini bermakna bahwa Pasal 95 Ayat (1) dan (2) adalah merupakan konsekuensi dari tindakan penyidik atau Penuntut Umum dalam menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, karena melanggar hak asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang in casu adalah PEMOHON, oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh TERMOHON menjadi Objek Permohonan Praperadilan ;
9.    Bahwa oleh karena Hukum Acara Pidana tidak mengatur secara tegas mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang yang ditetapkan sebagai Tersangka, maka hal itu tidak berarti jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, tidak boleh dikoreksi. Kesalahan tersebut wajib untuk dilakukan koreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga praperadilan. Koreksi ini dilakukan untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam perkara ini adalah Penyidik. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan penegak hukum yang melanggar hak asasi manusia hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas. Keadaan ini sesuai dengan peran Hakim dalam “menemukan hukum” (rechtvending) yang diberi tempat seluas-luasnya oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1)     :    “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”
Pasal 5 ayat (1)     :    “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” :
10.    Bahwa pendapat Hakim berhak dan diberi kewenangan untuk menafsirkan UU demi kepentingan proses peradilan telah dikemukakan oleh LIE OEN HOCK dalam pendapatnya yang menyatakan :
“dan apabila kita memperhatikan UU, maka ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian Hakim harus melakukan peradilan”. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian UU memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tak jelas dalam suatu ketentuan UU secara gramatikal atau hostoris, baik ‘recht maupun ‘wetshistoris’, secara sistimatis atau secara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum”
(Mr. LEI OEN HOCK, “Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum”, PIDATO diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Djakarta, pada tanggal 19 september 1959, hlm.11).
11.    Bahwa tindakan Penyidik untuk menentukan seorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut [ penetapan Tersangka ] tidak dipenuhi, maka sudah pasti proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan.
12.    Bahwa dalam praktek Peradilan Hakim telah beberapa kali melakukan “penemuan hukum” terkait dengan objek Praperadilan termasuk penetapan Tersangka. Sebagai contoh adalah Putusan Perkara Prapradilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky., tanggal 18 Mei 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Sedangkan yang terkait dengan sah tidaknya penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalm perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain “tidak sah menurut hukum  tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai tersangka”. Demikian pula Putusan Prapradilan dalam perkara Nomor: 04/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel. tanggal 16 Februari 2015, yang secara tegas antara lain : “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah” ; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON”.
13.    Bahwa beberapa putusan Praperadilan tersebut di atas dapat dijadikan contoh dan dapat dijadikan rujukan atau acuan dan Yurisprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan atas tindakan Penyidik atau Penuntut Umum yang pengaturannya tidak disebutkan secara tegas dalam ketentuan pasal 77 KUHAP dapat dilakukan oleh Hakim. Putusan Hakim ini diperlukan untuk melakukan koreksi atas tindakan yang salah atau keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Kekeliruan dan kesalahan Penyidik atau Penuntut Umum tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi, sebab apabila kesalahan atau kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia dan mengusik rasa keadilan.
14.    Bahwa dengan adanya penetapan status seseorang sebagai Tersangka yang dilakukan tidak berdasarkan hukum atau tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap kebsahan penetapan sebagai Tersangka melalui lembaga praperadilan. Upaya penggunaan hak untuk menilai keabsahan penetapan sebagai Tersangka ini sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP, yang kemudian semakin dikukuhkan dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi :
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum”.
15.    Bahwa dengan demikian, mengacu pada ruh atau asas fundamental KUHAP (Perlindungan Hak Asasi Manusia) jo ketentuan pasal 17 Undang-Undang Hak Asasi Manusia jo Pasal 2 angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang KONVENAN INTERNASIONAL, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang Aparatur Negara dalam hal ini Penyidik melaksanakan ketentuan hukum acara diuji melalui lembaga Praperadilan telah secara cah mengalami perluasan sistematis (de systematische interpretatie), terutama berhubungan dengan penggunaan wewenang Penyidik yang berakibat dan bersifat mengurangi atau membatasi hak seseorang seperti diantaranya menetapkan seorang sebagai Tersangka secara tidak sah dan tidak berdasar hukum. Hal ini berarti bahwa pengujian wewenang yang dapat dilakukan terhadap Penyidik atau Penuntut Umum tidak hanya terbatas pada apa yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP, yaitu : (a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
16.    Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka karena tidak ditegaskan oleh Pasal 77 KUHAP, tidaklah berarti melanggar asas legalitas, sebab asas legalitas yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya berlaku dalam penetapan hukum materiil, sehingga merupakan pikiran sesat dan menyesatkan kalau ada yang menyatakan pengujian kebasahan penetapan Tersangka melanggar asas legalitas. Demikian pula halnya ketika warga negara membela dan mempertahankan hak asasinya dianggap melanggar asas legalitas karena belum ada aturannya. Asas legalitas digunakan untuk mencegah seorang warga negara dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena memang hukumnya belum ada, atau karena tidak ada perbuatan pidana, sebab tidak ada kejahatan yang tidak dapat dihukum seperti yang diancamkan oleh Undang-Undang terhadap pelanggarnya, sehingga demikian, asas legalitas itu tidak mencegah warga negara menggunakan haknya, meskipun belum diatur secara tegas oleh Undang-Undang.
 

Pihak Dipublikasikan Ya