Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2023/PN Lbp dr. ADE BUDI KRISTA Kepala Kejaksaan Negeri Deli Serdang Cq Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 29 Mei 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2023/PN Lbp
Tanggal Surat Senin, 29 Mei 2023
Nomor Surat 6/Pid.Pra/2023/PN Lbp
Pemohon
NoNama
1dr. ADE BUDI KRISTA
Termohon
NoNama
1Kepala Kejaksaan Negeri Deli Serdang Cq Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada Yth,

KETUA PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM

di-
    Lubuk Pakam



Hal: Permohonan Praperadilan  An. dr. ADE BUDI KRISTA


Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

1.    Dr. REDYANTO SIDI, S.H., M.H.
2.    NOVRI ANDI AKBAR, S.H.
3.    SYAIFULLAH, S.H.
4.    MUHAMMAD KADHAFI, S.H.
5.    RAMADIANTO, SH.
6.    Dr. dr. BENI SATRIA, M.Kes, S.H., M.H.

Para Advokat, Attorney, Counsellor At Law pada KANTOR ADVOKAT Dr. REDYANTO SIDI, S.H., M.H & PARTNERS yang berdomisili di Jalan Menteng VII/Perumahan Menteng Indah Blok B1 No. 31 Medan 20228, Telpon 061-7860787, HP: 085207117272 email: redysidi@gmail.com, dalam hal ini bertindak berdasarkan kekuatan Surat Kuasa Khusus tanggal 24 Mei 2023 (Terlampir)  selanjutnya bertindak baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk mewakili kepentingan hukum dari:

Nama        : dr. ADE BUDI KRISTA
Umur        : 52 Tahun
Jenis kelamin    : Laki-laki
Kewarganegaraan: Indonesia
Agama        : Islam
Pekerjaan         : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Alamat              : Kompleks Griya Marelan Tahap 3 Blok Orchid D-02 Lingkungan 26,  
                            Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan.

Selanjutnya dalam permohonan ini disebut sebagai ------------------------ PEMOHON;

Dengan ini   PEMOHON mengajukan Permohonan Pra peradilan terhadap:

1.    Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, Cq. Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam beralamat di Jalan Lintas Sumatera No.5, Petapahan, Kec. Lubuk Pakam, Lubuk Pakam, Sumatera Utara 20518, selanjutnya di sebut sebagai----------------------------------------------------------TERMOHON;

Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi Biaya Kegiatan Jasa Konsultan Perencanaan dan Konsultasi Pengawasan Belanja Modal Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2021, dengan sangkaan PRIMAIR Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 SUBSIDAIR  Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang R.I No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang--Undang  No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana oleh Kejaksaan Negeri Deli Serdang beralamat di Jalan Lintas Sumatera No.5, Petapahan, Kec. Lubuk Pakam, Lubuk Pakam di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam;

Ada pun dalil-dalil yang akan disampaikan dalam Permohonan ini adalah sebagai berikut:


DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
c.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d.     Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut:
1.    Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2.    Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6.    Dan lain sebagainya
f.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan :
1.    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
•    [dst]
•    [dst]
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
g.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
 
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA DAN SEBAGAI TERSANGKA;
1.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2.    Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
3.    “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
4.    Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
5.    Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai SAKSI oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan Nomor: R-119/L.2.14.4/Fd.1/05/2023 tertanggal 19 Mei 2023 yang pada pokoknya hadir untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi pada tanggal 23 Mei 2023, Selanjutnya TERMOHON tidak pernah membuktikan PEMOHON diperiksa sebagaii CALON TERSANGKA, akan tetapi PEMOHON diperiksa sebagai SAKSI dalam dugaan pidana korupsi tersebut diatas, TERMOHON langsung memberikan 3 (tiga) surat seklaigus kepada PEMOHON, Adapun surat yang diberikan kepada PEMOHON adalah:
a)    Surat No. B-1709/L.2.14.4.Fd.1/05/2023 tanggal 23 Mei 2023, yang pada pokonya tentang pemberitahuan dimulainya penyidikan perkara tindakan pidana korupsi atas nama tersangka PEMOHON;
b)    Surat No. B-1685/L.2.14.4.Fd.1/05/2023 tanggal 23 Mei 2023, yang pada pokonya tentang Penetapan Tersangka PEMOHON;
c)    Surat No. PRINT- 01/L.2.14.4.Fd.1/05/2023 tanggal 23 Mei 2023, yang pada pokonya tentang SURAT PERINTAH PENAHANAN  PEMOHON;
sehingga tidak dengan seimbang PEMOHON dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada PEMOHON. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh TERMOHON hanya sebagai SAKSI saja, dan langsung ditetapkan sebagai TERSANGKA, sekaligus dilakukan penahanan terhadap diri PEMOHON yakni pada tanggal 23 MEI  2023.
Bahwa sampai dengan dilakukan penetapan TERSANGKA dan melakukan Penahanan  terhadap diri PEMOHON, TERMOHON belum melakukan proses verbal (Berita acara Pemeriksaan sebangai TERSANGKA) terhadap diri PEMOHON;
6.    Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang  cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kejaksaan Negeri lubuk Pakam selaku Penyidik;
7.    Dengan demikian jelas tindakan TERMOHON dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
1.    Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun TERMOHON bahwa penetapan tersangka atas diri PEMOHON baru diketahui oleh PEMOHON berdasarkan surat panggilan sebagai SAKSI oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan Nomor: R-119/L.2.14.4/Fd.1/05/2023 tertanggal 19 Mei 2023 sebagai SAKSI yang pada pokoknya untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada PEMOHON. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi/Penyidik memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
2.    Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
3.    Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
4.    Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama PEMOHON;
5.    Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan PEMOHON dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

3. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, PADA SAAT DILAKUKAN
    DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI;

Bahwa PEMOHON ditetapkan sebagai TERSANGKA pada tanggal 23 MEI 2023, pada saat PEMOHON masih dipanggil untuk dimintai keterangan untuk yang pertama kalinya melalui surat panggilan sebagai SAKSI oleh TERMOHON dengan Nomor: R-119/L.2.14.4/Fd.1/05/2023 tertanggal 19 Mei 2023 yang pada pokoknya untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi pada tanggal 23 Mei 2023, dan langsung ditetapkan sebagai TERSANGKA dan sekaligus dilakukan penahanan terhadap diri PEMOHON yakni pada tanggal 23 MEI  2023.

Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik dari kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.




 
4. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI
    TERSANGKA
1.    Bahwa TERMOHON dalam menetapan PEMOHON sebagai tersangka, Melakukan  Penetapan Tersangka dan Penahanan dalam dugaan tindak pidana korupsi Biaya Kegiatan Jasa Konsultan Perencanaan dan Konsultasi Pengawsaan Belanja Modal Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2021, dengan sangkaan PRIMAIR Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 SUBSIDAIR  Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang R.I No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang--Undang  No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana tidak menjelaskan berdasarkan 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup, TERMOHON tidak menunjukkan alat bukti, saksi, ahli, atau berita acara pemeriksaan saksi atau ahli untuk penetapan TERSANGKA dan penahanan PEMOHON sebagai TERSANGKA.
2.    Bahwa Berdasarkan surat panggilan SAKSI pada tanggal 19 Mei 2023, dengan surat Nomor: R-119/L.2.14.4/Fd.1/05/2023 tertanggal 19 Mei 2023 yang pada pokoknya untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi tanggal 23 Mei 2023, TERMOHON langsung Menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA dan sekaligus Melakukan penahanan terhadap diri PEMOHON yakni pada tanggal 23 MEI  2023, tanpa menjelaskan  bukti-bukti permulaan yang cukup, Sehingga menurut PEMOHON masih terdapat kekurangan alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil;
3.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
4.    Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka PEMOHON ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh TERMOHON dalam hal menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi Biaya Kegiatan Jasa Konsultan Perencanaan dan Konsultasi Pengawasan belanja Modal Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2021, dengan sangkaan PRIMAIR Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 SUBSIDAIR  Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang R.I No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang--Undang  No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana kepada PEMOHON, mengingat dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Termohon, Termohon tidak pernah menjelaskan kepada PEMOHON tetang alat bukti yang cukup sudah terpenuhi;
5.    Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

5.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA  DAN MELAKUKAN   PENAHANAN KEPADA TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH
1.    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2.    Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dariketeraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3.    Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
4.    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5.    Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi;
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6.    Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
Pada ayat:
1.    “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”.
2.    Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.
MAKA:
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan menetapkan PEMOHON sebagai tersangka dan ditahan yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri LUBUK PAKAM ATAU MAJELIS HAKIM  yang  MULIA  yang memeriksa, dan mengadili, dan memutus perkara ini dan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:
1.    Menyatakan Menerima permohonan PEMOHON Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan Surat No. B-1709/L.2.14.4.Fd.1/05/2023 tanggal 23 Mei 2023, yang pada pokonya tentang pemberitahuan dimulainya penyidikan perkara tindakan pidana korupsi atas nama tersangka PEMOHON atas dugaan tindak pidana korupsi pada sangkaan PRIMAIR Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 SUBSIDAIR  Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang R.I No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang--Undang  No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana adalah adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan Surat No. B-1685/L.2.14.4.Fd.1/05/2023 tanggal 23 Mei 2023, yang pada pokonya tentang Penetapan Tersangka PEMOHON atas dugaan tindak pidana korupsi pada sangkaan PRIMAIR Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 SUBSIDAIR  Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang R.I No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang--Undang  No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana adalah adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.    Menyatakan Surat No. PRINT- 01/L.2.14.4.Fd.1/05/2023 tanggal 23 Mei 2023, yang pada pokonya tentang SURAT PERINTAH PENAHANAN  PEMOHON atas dugaan tindak pidana korupsi pada sangkaan PRIMAIR Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 SUBSIDAIR  Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang R.I No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang--Undang  No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi  Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana adalah adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri PEMOHON oleh TERMOHON;
6.    Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada PEMOHON;
7.    Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
8.    Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
 

Pihak Dipublikasikan Ya